Kisah Hidup Teungku Abdullah Syafie

Jujur, awalnya saya tidak menduga sama sekali bakal bertemu dengan sosok yang begitu diburu aparat keamanan dan para wartawan itu. Hingga suatu ketika, saat pulang ke kampung halaman, saya dapat kabar, Teungku Abdullah Syafie, demikian koran menulis nama panglima jempolan itu, sedang beristirahat di kampung saya. Berbekal rasa penasaran seorang murid sekolah menengah atas, saya beranikan diri mengunjungi sebuah rumah tempat panglima dan puluhan pasukannya menginap. Di sanalah pertama kali saya melihat Teungku Abdullah Syafie dengan kaos oblong putih sedang santai bersama pasukannya.

Saat itu saya tak langsung bisa bertemu Teungku Lah, karena beliau sedang tidur siang. Saya pun terlibat obrolan serius dengan beberapa anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), di antaranya Teungku Hasan Umar Tiro, satu dari beberapa nama yang masih saya ingat. Diskusinya seputar perjuangan dan ideologi GAM serta keberadaan Majelis Permusyawaratan Gerakan Aceh Merdeka (MP GAM). Nama MP GAM menyeruak tak lain karena terlintas nama Pasi Lhok, Kembang Tanjong, disebut. Saya yang masih duduk di bangku MAN, lebih banyak menyimak. Pun, sesekali saya ikut melemparkan pertanyaan, karena rasa penasaran.

Setelah Teungku Lah terbangun, saya pun segera berpindah ke serambi depan rumah, di mana Teungku beristirahat. Saya lihat beliau duduk di atas tempat tidurnya, dan sedang berbicara dengan seseorang melalui Hp satelit. Di situ saya juga melihat ada beberapa pengawalnya, beberapa di antaranya sedang membersihkan senjata, rata-rata AK-47. Tak ada tatapan curiga dari mata mereka. Bisa saja, karena saya hanya seorang anak kecil, ketika itu.

Tak lama, Teungku Lah selesai bicara. Dia tiba-tiba menoleh ke arah saya, dengan mimik ramah melemparkan pertanyaan ringan. Karena tak tahu nama, beliau memanggil saya dengan ucapan ‘Aneuk Muda’. “Aneuk muda pat rumoh?” Saya pun menjawab, bahwa rumah saya tak jauh, hanya berselang beberapa rumah saja. “Rumoh lon blah rot teunong rumoh nyoe, Teungku.”

“Aneuk muda mantong jak sikula?” tanyanya.
“Mantong Teungku, lon sikula bak MAN 1 Sigli jinoe. Nyoe kebetulan teungoh pre, lon woe u gampong.”
“Aneuk Aceh harus jak sikula mandum, bah carong-carong aneuk Aceh.”

Selepas mengatakan itu, Teungku Lah meminta saya mengambil segelas air putih di lantai bawah. Saya pun turun ke bawah melalui tangga, dan meminta segelas air putih untuk Teungku Lah pada empunya rumah, masih famili dekat dengan keluarga saya.

Rupanya, Teungku Lah hendak minum obat. “Ubat nyoe ata dijok le wartawan Jepang. Dipeugah get keu vitamin,” katanya saat mengambil obat dari dalam kantong kresek putih. Obat itu, katanya, dikasih saat wartawan itu mewancarainya, beberapa hari yang lalu. Tak lupa dia menyerahkan sebutir vitamin itu untuk saya. Dia meminumnya duluan, dan menyisakan sedikit air putih, dan menyerahkan gelas itu untuk saya. Saya pun ikut meminumnya.

Pengalaman itu sudah lama sekali, di tahun 1999. Ketika itu, saya belum begitu mengenal sosok beliau, kecuali melalui pemberitaan di media. Itulah satu-satunya pertemuan saya dengan Teungku Lah. Sampai Teungku Lah menghembuskan nafas terakhir dalam sebuah kontak senjata di Alue Mon, Cubo, Bandar Baru, saya tak pernah lagi bertemu dengannya.

Sejak itu, saya pun memendam keinginan untuk menulis kisah hidup beliau. Menurut saya, sosok Teungku Lah penting ditulis, tak hanya karena beliau pernah memimpin Gerakan Aceh Merdeka, melainkan karena sosoknya penuh kharisma. Keinginan itu pun kian memuncak ketika saya mengunjungi Desa Kayee Jatoe dan Blang Sukon, Cubo, pada Oktober tahun lalu. Selama dua hari di Mukim Cubo, saya cukup banyak menyerap informasi seputar sepak-terjang Panglima yang sangat dikagumi anak muda itu.

***
Gampong Seuneubok Rawa, Peusangan, Bireuen berjarak sekitar empat kilometer dari Jalan Medan-Banda Aceh, Kawasan Matang Glumpang Dua, Bireuen. Jalan penghubung menuju ke gampong itu hanya tiga kilometer saja yang teraspal bagus, sementara sekitar satu kilometer lagi penuh kerikil dan berdebu. Di beberapa bagian masih terlihat bekas aspal yang mengelupas. Di kiri kanan jalan, ada bentangan areal persawahan yang luas, bersambung kawasan perbukitan yang teduh dan asri.

Di gampong itulah, Teungku Abdullah Syafie lahir. Jika merujuk keterangan yang tertulis di makam Blang Sukon, Cubo, Pidie Jaya, beliau lahir pada 17 Oktober 1947. Sementara dalam banyak informasi di media, beliau ditulis lahir pada tahun 1952. Tidak ada yang tahu, versi mana yang benar. Tapi, adiknya, Fatimah, memiliki keterangan berbeda. Menurut dia, abangnya lahir sekitar tahun 1955.

“Lon lahe thon 1958, kakak lon thon 1952. Teungku lahe thon 1955,” katanya, awal Desember 2015 lalu. Tahun yang tertulis di makam, lanjutnya, tidak benar. “Thon 1947 dituleh. Pane mungken ka tuha Teungku ngon guree.” Sosok yang disapa Guree itu adalah guru ngaji masa kecil Teungku Lah. Namanya, Muhammad Husein. Adik Teungku Lah menyapanya Guree atau guru.

Beberapa kali ulang tahun mengenang syahidnya Teungku Lah, Fatimah sering ditanya soal tahun lahir. “Lon peugah, thon yang meutuleh nyan salah rayeuk. Kon thon nyan. Gobnyan lahe thon 1955,” cerita Fatimah. Tapi, tahun itu, sudah terlanjur tercetak di makam, dan tak mungkin diubah lagi. Pun begitu, Fatimah berharap suatu saat ada upaya untuk mengubah, sehingga sejarah lahir Teungku bisa diluruskan.

Fatimah adalah adik kandung seibu dan seayah dengan Teungku Lah. Mereka tiga bersaudara. Satu lelaki, dua perempuan. Teungku Lah anak nomor dua. Yang paling tua, kakak perempuannya. Tapi Teungku Lah memiliki seorang abang tiri, seibu dan lain ayah. Namanya Zakaria Suud atau akrab disapa Pak Zack. Pak Zack pernah dijemput oleh aparat seusai Teungku Lah tertembak di Cubo. Beliau dibawa dengan helikopter ke Cubo, untuk memastikan mayat yang ditembak itu adalah adiknya.

Meskipun Teungku Lah lahir di Seuneubok Rawa, Peusangan, tapi sebenarnya ibu kandung Teungku Lah, Ti Hawa, berasal dari Gampong Tumpuen, Kembang Tanjong, Pidie. Sementara ayahnya, Teungku Syafie, orang Banda Aceh.

Sejak tahun 1981, Teungku Lah meninggalkan kampungnya di Seuneubok Rawa. Dia pun berpamitan pada keluarganya. Fatimah mengenang, saat itu 15 Syakban sekitar tahun 1981. Sehari sebelumnya, Teungku Lah mendapat kabar Habib Arbi di Bireuen ditangkap oleh tentara. “Pue buet Habib Arbi nyan, hana lon tupue,” katanya. Habib Arbi dikenal karena sebagai pembuat jamu ‘cap tupe’ yang terkenal ketika itu. Yang pasti, setelah Habib ditangkap, Teungku Lah merasa tidak lagi aman berada di kampung.

“Soe nyang tanyong, peugah lon ka kujak meukat ubat,” kata Fatimah menirukan ucapan abangnya. Sejak itu, Fatimah tak pernah lagi mendengar kabar abangnya. “Thon 1989 na geuwoe sigo teuk,” kenangnya.

Lalu, bagaimana kisah awal Teungku Lah masuk dalam barisan Aceh Merdeka? Teungku Lah yang lahir dua tahun setelah meletus pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Aceh pimpinan Daud Beureueh, sangat mengidolakan Teungku Hasan di Tiro. Cucu Teungku Syik di Tiro itu banyak memberikan inspirasi baginya. Di beberapa kesempatan, Teungku Lah selalu mengutip kata-kata yang pernah disampaikan Hasan Tiro itu.

"Almukaram Wali Neugara pernah berkata: While man powerless to change his past, he still the master of his future. Because his future is largely determined by his present intention and action. Seseorang masih tetap sebagai pemilik masa depannya, sekalipun dia gagal dalam meraih dan menggenggam masa lalu. Karena masa depannya itu ditentukan oleh aksi dan intensinya hari ini.” Kata-kata itu begitu membekas dalam ingatannya.

Sebelum mulai menceburkan diri dalam gerakan yang diproklamirkan Teungku Hasan di Tiro, Teungku Abdullah Syafie lebih dulu terlibat dalam pasukan, yang oleh adiknya disebut memakai pakaian serba hitam. “Teungku lebih dulu terlibat dalam gerakan jubah hitam,” kata Fatimah.

Dalam banyak pemberitaan, Teungku Lah disebut terlibat dalam Gerakan Aceh Merdeka sehari sebelum Hasan Tiro memproklamirkan gerakan itu di Gunung Halimon. Adiknya, Fatimah meyakini, Teungku Lah sudah terlibat di masa-masa awal persiapan. “Tapi thon 1976 Teungku kana di dalam barisan,” sebut Fatimah. Memang, sepak terjangnya tak ada yang tahu ketika itu.

Di masa-masa itu, Teungku Lah lebih banyak menyampaikan soal Aceh Merdeka dari mulut ke mulut. Apalagi, dia berprofesi sebagai pedagang obat keliling. Syarifuddin, warga Seuneubok Rawa, yang kerap mengantar Teungku Lah saat pulang kampung, masih mengingat bentuk tas yang dibawa Teungku Lah.

“Warna tas Teungku agak merah. Bentuknya persegi empat dengan ketebalan sekitar sejengkal jari tangan orang dewasa,” kenangnya. Di dalam tas itu bisa muat beberapa botol obat. Cara buka kuncinya harus ditekan secara bersama-sama di kedua sisi. Jamu yang sering dijual Teungku Lah adalah jamu Cap Tupe.

Hal lain yang diingat Syarifuddin adalah Teungku Lah memiliki kemampuan karate. Di Alue Kuyuen, Peusangan, Teungku Lah sering mengajari anak-anak bermain silat. “Teungku Lah belajar karate dari Muhammad Nur dari Paya Reuhat,” katanya.

Sosok yang cukup populer di Aceh sepanjang 1999-2002 itu sempat diisukan seorang desertir Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD). Isu itu awalnya dilansir sebuah media terbitan Jakarta, yang menyebut Teungku Lah ‘binaan’ seorang jenderal di Jakarta.

Suatu ketika, seperti ditulis oleh TEMPO, Abdullah Syafi'ie tampak geram ketika ditanyakan soal isu yang dilansir salah satu media di Jakarta yang menyebut dirinya desertir RPKAD tahun 1976. "Ayah saya sangat anti-TNI. Sejak kecil saya sudah dilatih bermain dengan parang. Usia 23 saya gabung dengan Wali Negara Aceh, Dr Teungku Muhammad Hasan di Tiro," ujar suami Pocut Fatimah itu.

Ia membantah kabar tersebut. Menurutnya, TNI sengaja melansir isu ini untuk memecah-belah rakyat Aceh. Apalagi RPKAD yang kemudian berubah menjadi Kopassus, sangat dibenci rakyat akibat kebiadabannya di Aceh selama masa DOM (daerah operasi militer) antara tahun 1989-1998.

Sekitar tahun 1980-an, Teungku Lah menikahi seorang wanita dari Cubo, namanya Cut Fatimah. Wanita yang disapa Pocut Fatimah itu masih memiliki hubungan famili dengan Teungku Lah. “Keluarga ureueng inong, nyan saudara ayah,” cerita Fatimah. Teungku Lah datang ke Blang Sukon untuk berjualan obat sambil mencari sanak-keluarganya di sana. “Teungku jak seutot taloe wareh watee nyan,” kata Fatimah, adiknya.

Sang istri, Cut Fatimah, selalu setia mendampingi Teungku Lah, bahkan hingga ajal menjemput. Di masa Daerah Operasi Militer (DOM), dia pernah ditangkap dan dianiaya oleh TNI. Ketika mereka syahid pada 22 Januari 2002, Pocut Fatimah sedang hamil enam bulan. Sudah cukup lama mereka mendambakan seorang anak, tapi Allah belum juga memberi keturunan untuk mereka. Tiga bulan saat menanti kelahiran bayi pertama mereka, TNI merenggutnya di sebuah subuh buta, di Alue Mon, Cubo, 22 Januari 2002. Pocut Fatimah berikut bayi yang dikandungnya meninggal setelah peluru aparat menembus tubuhnya. Dalam kejadian itu, Teungku Lah dan lima pengawalnya ikut syahid.


NOTE: penggalan tulisan ini dikutip dari buku Abdullah Syafie, Panglima Angkatan Gerakan Aceh Merdeka, terbitan Aceh Citizen, cet 1, Desember 2015. Dilarang keras mengutip posting ini. Terima kasih.

Post a Comment

Previous Post Next Post