Re-branding Museum Nasional

museum nasional
Bagi bangsa Indonesia, Mei merupakan bulan spesial. Banyak peristiwa penting terjadi di bulan Mei: Hari pendidikan nasional, hari buku nasional, hari kebangkitan nasional, dan reformasi juga terjadi di bulan Mei. Dan, pada 28 Mei 2014, Museum Nasional juga merayakan ulang tahun yang ke-236 tahun. Usia yang sangat tua jika dihitung sejak berdirinya Bataviaach Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (BG), tanggal 24 April 1778. Kebijakan Pemerintah Belanda mendirikan BG tak dapat dilepaskan dari euphoria revolusi intelektual (the Age of Enlightenment) yang melanda Eropa. Perayaan itu kian menjadi spesial, karena bertalian dengan perayaan Hari Museum Internasional yang jatuh pada 18 Mei.

Sejarah Museum Nasional tergolong panjang. Cikal bakal museum nasional ini terus berevolusi: berganti nama maupun pindah lokasi. Bahkan ketika pemerintahan Inggris di Jawa di bawah Letnan Gubernur Sir Thomas Stamford Raffles (1811-1816) pernah bernama Literary Society.  Namun, baru pada tahun 1862, pendirian museum dilakukan secara serius, ketika pemerintah Hindia-Belanda memutuskan membangun sebuah gedung museum baru di Jalan Medan Merdeka Barat No. 12. Namanya juga berubah. Warga Jakarta, misalnya, menyebutnya Gedung Gajah atau Museum Gajah, karena di depannya ada sebuah patung gajah dari perunggu, hadiah dari Raja Thailand. Museum ini juga pernah bernama Lembaga Kebudayaan Indonesia.

Upaya re-branding museum tersebut terus dilakukan, misalnya, pada 17 September 1962 Lembaga Kebudayaan Indonesia berubah menjadi Museum Pusat setelah pengelolaannya diserahkan kepada Pemerintah Indonesia. Tak hanya sampai di situ, pada 28 Mei 1979, statusnya ditingkatkan dan namanya berubah menjadi Museum Nasional, hingga sekarang.

Museum Nasional punya visi yang jelas, yaitu "Terwujudnya Museum Nasional sebagai pusat informasi budaya dan pariwisata yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan peradaban dan kebanggaan terhadap kebudayaan national, serta memperkokoh persatuan dan persahabatan antar bangsa".

Ini memang visi yang sangat bagus. Tapi, kita menangkap kesan, Museum Nasional hanya melulu mengurusi soal budaya dan pariwisata, dan melupakan sejarah panjang perjuangan kemerdekaan serta patriotisme anak bangsa dalam mengusir penjajah. Padahal, Museum Nasional seharusnya menjadi garda terdepan merawat ingatan sejarah bangsa.

Ini pula yang membedakan Museum di tempat kita dengan museum yang dibangun oleh bekas negara penjajah. Belanda, misalnya, sangat peduli pada perjuangan dan sejarah bangsanya. Kepingan sejarah mereka kumpulkan untuk kepentingan merawat ingatan anak cucu mereka tentang sejarah bangsanya.

Seperti kita tahu, Belanda memiliki beberapa museum yang namanya sangat harum ke seluruh dunia, seperti Museum Leiden, Bronbeek, Tropen dan lain-lain. Museum-museum di Belanda menjadi destinasi dan tempat para ilmuan menggali rujukan sejarah.  Saya melihat ini ketika berkunjung ke Museum Bronbeek di Arhem, Belanda pada 27 Juli 2010 silam. Selain menyimpan banyak benda-benda bersejarah, museum Bronbeek menjadi istimewa karena terdapat 43 veteran perang. Dari mereka pula kita bisa memperoleh cerita-cerita seputar perang di Nusantara. Mereka dengan senang hati mau berbagi kisah hidup serta pengalaman perang yang mereka alami sewaktu menjadi tentara kolonial dulunya.

Bahkan banyak benda-benda bersejarah bekas perang mereka angkut dari Nusantara dan dari negeri jajahan mereka. Saya melihat banyak benda dari negara kita yang mereka simpan baik-baik. Siapa pun orang Indonesia yang berkunjung ke sana akan segera terkagum-kagum, karena cukup banyak benda-benda yang berhubungan dengan sejarah Indonesia ada di museum tersebut. Di sebuah sudut museum, Saya sendiri seperti diajak bernostalgia mengenang bagaimana perang di Nusantara berlangsung dan peralatan perang apa yang digunakan para pejuang kita, melalui bambu runcing, rencong, keris dan meriam. Kita pun dapat melihat gambar-gambar para Gubernur yang pernah memerintah di Hindia Belanda (Indonesia).

Dan, untuk masuk museum tersebut kita tak dipungut apa-apa, alias gratis. Ini yang membedakan dengan museum nasional. Untuk masuk museum kita dikenakan tiket masuk, yang harganya bervariasi. Harga tiket masuk tersebut memang kecil dan tak seberapa, tapi banyak orang malas jika sudah terkait soal bayar-membayar ini. Tak percaya? Lihat saja betapa jengkelnya orang setiap kali bayar uang parkir, sekali pun hanya Rp1000. Karena itu, kita mendukung subsidi penuh dari Pemerintah untuk pengelolaan museum, sehingga para pengunjung menjadi ramai dan tanpa terbebani dengan bayaran apapun.

Saya dan pengelola museum Bronbeek
Saya pikir inilah yang perlu segera kita perbaiki dari keberadaan museum di tempat kita. Tanpa ada upaya merawat ingatan anak negeri untuk mengenal negerinya secara lebih dekat seperti yang dilakukan oleh bekas penjajah kita, berarti kita sudah membuang jauh ikatan sejarah yang panjang tersebut. Seperti di Museum Bronbeek, selain sebagai destinasi wisata untuk umum, museum ini juga menjadi tempat untuk anak-anak sekolah di Belanda mengenal sejarah bangsanya.

Jadi, sudah saatnya, Museum Nasional di-rebranding dari pusat informasi budaya dan pariwisata menjadi pusat merawat ingatan generasi mendatang akan sejarah bangsanya. Museum Nasional juga harus mampu menjadi museum riset, seperti kebanyakan museum di luar negeri. Kalau pun mau keren, tak ada salahnya, pihak pengelola menempatkan mantan veteran perang, seperti yang dilakukan Museum Bronbeek, sehingga anak sekolah dan para pengunjung mendapatkan cerita langsung dari para pelaku sejarah. Ini pula sebagai bentuk penghormatan untuk jasa-jasa mereka. Semoga!

Referensi:
http://www.museumnasional.or.id/about/history_of_the_museum.html
http://jumpueng.blogspot.com/2013/05/bronbeek-sebuah-museum-riset.html
http://jumpueng.blogspot.com/2013/05/aceh-willem-iii-dan-bronbeek.html

Post a Comment

Previous Post Next Post