Acehkita Bukan Media Corong

Tanggal 19 Juli 2005, situs berita www.acehkita.com genap dua tahun. Bagi media yang memfokuskan diri pada pemberitaan tentang Aceh, usia dua tahun merupakan pencapaian yang luar biasa. Sangat sulit bagi sebuah media bertahan di Aceh (meski acehkita juga beredar di luar Aceh), apalagi mengambil sikap berseberangan dengan penguasa (militer). Tetapi acehkita sudah melewati hal itu, tanpa melacurkan diri. Sudah banyak media yang sempat terbit (di Aceh) kemudian satu persatu gugur dengan berbagai alasan. Meski demikian, usia lama-pendeknya terbit suatu media tak memengaruhi pencapaian cita-cita luhurnya.

Hal ini dikemukakan oleh Perry Anderson, editor The New Left sebagaimana dikutip Daniel Dhakidae dalam pengantar bukunya “Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru” (2003). Diungkapkan Anderson lamanya hidup suatu media (jurnal) tidak menjamin pencapaiannya. Sebagai contoh, Athaeneum, yang hanya terbit 3 tahun tetapi mampu membangkitkan romantisme Jerman, setelah itu mati. Demikian pula Revue Blanche yang tak sampai satu dasawarsa namun seperti bercak-bercak sinar dari letusan petasan raksasa yang mampu menerangi kota Paris. Majalah Left hanya terbit tujuh kali tetapi menggemparkan Moskow.

Tak salah jika kita berharap acehkita dapat menjadi pelipur lara rakyat Aceh dan menjadi media bagi perwujudan perdamaian abadi di Aceh.

Aceh dalam Kondisi Sulit
Kondisi Aceh pertengahan 2003 benar-benar sulit dan genting. Kondisi sulit itu tak hanya dihadapi oleh GAM, yang menjadi sasaran utama gempuran pemerintah, melainkan kalangan aktivis dan juga media. Saat itu yang berseberangan dengan pemerintah tak dapat hidup di Aceh. Jika harus hidup mesti menjadi bagian atau mendukung segala program pemerintah dalam membasmi GAM. Kalau tidak, silahkan keluar dari Aceh.

Awal pemberlakuan Darurat Militer, Pangdam Iskandar Muda, Endang Suwarya mengeluarkan ultimatum bahwa lembaga masyarakat sipil seperti SIRA, SMUR dan Kontras akan diburu karena dituding menjadi simpatisan GAM. Kalangan ini menjadi target selain GAM. Saat itu marak yang namanya penggerebekan kantor LSM, penangkapan aktivis dan penculikan orang yang dianggap berbahaya.

Kepada media, juga diultimatum, untuk memilih—sebagaimana pernah diserukan oleh Presiden George W. Bush ketika memulai kampanye perang terhadap terorisme: bersama kami atau ikut teroris!—dukung operasi terpadu atau berpihak kepada GAM! Media diberikan aba-aba agar tidak menyiarkan propaganda atau berita yang menguntungkan GAM. Kalangan media diharapkan bersikap nasionalistik dan patriotik, dalam arti menjadi media perekatan nasionalisme Indonesia.

Untuk tujuan itu, beberapa media diberikan latihan secara khusus oleh TNI dalam menghadapi operasi atau dalam melakukan peliputan di medan perang, yang dikenal embedded journalist. Program seperti ini pernah dipraktikkan oleh tentara Amerika terhadap wartawannya yang meliput di Irak.

Dan acehkita lahir dari kondisi sulit itu, kondisi yang tidak normal untuk sebuah media yang mencoba menjadi ‘oposan’ dalam pemberitaan tentang Aceh. acehkita lahir di tengah kebimbangan media umum untuk bersikap, antara memegang idealisme atau ikut terbawa arus mendukung program pemerintah. Dan acehkita ternyata memilih ‘berseberangan’ dengan pemerintah. acehkita termasuk yang paling berani bersuara (menceritakan fakta, red) di tengah arogansi penguasa saat itu (ketika DM diberlakukan di Aceh).

acehkita tak hanya membebaskan Aceh, dalam arti mewartakan Aceh dengan pendekatan nurani, melainkan juga sudah membebaskan para jurnalis di Aceh yang sering bertengkar dengan nuraninya. Di satu sisi dia mesti mengikuti nurani hatinya sebagai seorang jurnalis yang memberitakan informasi jujur seperti yang dilihatnya, namun di sisi lain dia tak dapat menghindari kenyataan bahwa informasi yang bakal ditulisnya akan berdampak bagi dirinya karena tidak disukai oleh penguasa. Selain itu dia menghadapi ketatnya sensor redakturnya yang tak jarang membuat berita yang ditulisnya telah berubah secara subtansial.

Di sinilah acehkita seperti menyelamatkan mereka. acehkita menyediakan wadah bagi mereka untuk menulis berita sesuai nuraninya. Kita berharap agar acehkita dapat bernasib seperti koran oposisi yang terbit Slovakia, SME, khususnya kondisi pada tahun 1989. Saat itu memosisikan diri sebagai media oposisi (alternatif) terhadap pemerintah. SME dianggap sebagai media yang berbahaya oleh rezim nasionalisme Vladimir Meciar, dan berusaha menutup surat kabar itu dengan cara menutup akses ke perusahaan percetakan.

Tapi Alexej Fulmek, seorang wartawan SME tak kehilangan akal, dengan cara meminjam uang dari MDLF (Media Development Loan Fund) untuk membeli percetakan bagi korannya, SME. Hasilnya menakjubkan, kini SME telah menjadi usaha penerbitan terbesar di Slovakia dengan menerbitkan 6 surat kabar nasional dan 31 surat kabar daerah.

Fascinatio
Selama mewarta, tipe pemberitaan acehkita (disadari atau tidak) mengandung—meminjam istilah yang digunakan Daniel Dhakidae (2003)—Fascinatio ketika menggambarkan tentang cendekiawan. Yaitu sesuatu yang menarik perhatian, pada gilirannya dalam makna asli justru mengandung dua arti sekaligus yaitu: pertama, menarik perhatian karena memukau, dan kedua, mengandung arti: Hantu!

Artinya, acehkita dalam menjalankan peran idealnya dihadapkan pada dua kenyataan: antara diterima karena faktualitas, objektifitas dan daya kritisnya, juga menjadi ‘hantu’ yang menakutkan bagi pihak yang menjadi sasaran pemberitaannya.

acehkita, tentunya lahir dari suatu pemikiran bahwa Aceh mesti diselamatkan, sebagai bentuk tanggung-jawab moral atas penderitaan yang dialami oleh rakyat Aceh. Tak ada satu pihak pun yang berhak mengklaim bahwa Aceh adalah miliknya, dan karena itu bebas bertindak dan melakukan apapun.

Pemikiran itu yang menggugah Dhandy Dwi Laksono, Smita Notosusanto, Risman A. Rahman dan J. Kamal Farza yang sadar bahwa Aceh perlu diperjuangkan dan diselamatkan dari ancaman penghancuran secara sistemik melalui pemberlakuan Darurat Militer (perang). Aceh tak bisa dibiarkan berkutat sendiri menghadapi gempuran pemerintah. Aceh tak bisa dibiarkan tertutup bagi dunia luar. Mesti ada sesuatu yang harus dilakukan agar Aceh terbuka ke luar. Hal yang paling mungkin dilakukan saat itu memberitakan Aceh apa adanya, dan tidak mengikuti kecenderungan saat itu, yang terlalu memanjakan sumber dari militer.

Pendekatan pemberitaan yang digunakan oleh acehkita saat itu adalah memberikan porsi yang lebih besar kepada masyarakat Aceh yang notabebe adalah korban. Melalui pendekatan seperti itu, objektivitas dan kebenaran suatu berita lebih dapat dipercaya kebenarannya ketimbang dari sumber dominan (militer).

Karena itu, kehadiran acehkita saat itu mampu memberika perspektif lain tentang Aceh. Perspektif itu secara garis besar berbeda dengan berita yang kita baca sehari-hari dari media umum lainnya. Jika media umum, menggunakan sumber informasi dari sumber dominan seperti PDMD, maka acehkita menggunakan sumber dari rakyat kecil yang tak ada hubungannya dengan suatu institusi. Mereka menggunakan sumber rakyat kecil yang tak pernah mendapatkan tempat dalam pemberitaan atau tak pernah didengar apa keinginan mereka.

Menjamurnya pemberitaan dari sumber militer membuat kebenaran suatu berita mesti dipertanyakan. Dan sering menyeret kita untuk menyakini para reporter adalah penyebar informasi bohong. Agar kita tak terjebak pada kesimpulan itu, kita bisa mencari alternatif berupa “bacalah apa yang tidak ditulis oleh koran!” atau melalui media alternatif.

Acehkita bukan corong
Dalam perjalanannya, acehkita tak luput dari fitnah dan cibiran. Di satu pihak, acehkita dituduh sebagai corong suatu kelompok, dan menyudutkan pihak lain. Begitu juga sebaliknya. Hal ini tak terlepas dari berita-berita yang diwartakan oleh acehkita.

Kondisi seperti ini mutlak dihadapi oleh suatu media, apalagi bagi sebuah media yang memfokuskan diri pada isu Aceh. acehkita menegaskan kepada khalayak pembacanya bahwa ia tak bertanggungjawab pada pihak-pihak yang sedang bertikai di Aceh melainkan kepada masyarakat Aceh yang perlu dibela. Sementara penulis berita acehkita bertanggung-jawab pada diri mereka masing-masing dan pada kebenaran yang diyakininya. Akurasi dan fakta-fakta yang disuguhkan mesti dapat dipertanggungjawabkan secara publik.

Terlepas dari itu, acehkita mesti benar-benar menjadi “Acehkita”, dalam hal pemberitaan. Hal ini perlu dipertegas agar acehkita tak digugat karena memihak satu kelompok, dan meninggalkan kelompok lain. acehkita perlu mempertegas bahwa acehkita adalah milik siapa saja yang peduli pada penderitaan orang Aceh. acehkita bukan Aceh “mereka”: bukan Aceh TNI/Polri, RI, Asing, GAM, yang seperti bebas memaksakan kehendaknya masing-masing. Tapi Aceh adalah “Acehkita!”

Penegasan sikap seperti ini memang sering mengundang resiko, tapi di situlah letak idealisme acehkita: akan dihargai dan karena itu disegani. Sikap ini akan memberikan kekhasan bagi acehkita, untuk menjadi media yang netral dalam arti milik rakyat kecil Aceh. Apalagi jika acehkita ingin menjadi media yang bisa dijadikan rujukan dalam melihat Aceh.

Dengan begitu, pertanggungjawaban acehkita bukan kepada siapa yang berkuasa di Aceh, melainkan kepada publik Aceh. Biarlah masyarakat yang memberikan penilaian tersendiri terhadap media ini, apakah sebagai media yang ikut ‘menindas’ mereka atau media yang membela nasib mereka. Selamat ulang tahun acehkita.

Note: tulisan ini ditulis untuk memperingati 2 tahun acehkita (19 JULI 2003-2005). Sudah dimuat di Acehkita.com (18 Juli 2005)

Post a Comment

Previous Post Next Post